watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

LING LING

"Aaahh.." desah Ling Ling lagi waktu aku mulai
menggerayangi puting susunya yang langsung
saja mengeras begitu terkena jamahanku.
Seperti anak kecil menemukan mainan baru,
kupermainkan puting susu Ling Ling yang kian
bertambah keras. Semakin keras lagi, sejalan
dengan semakin lincahnya tanganku memuntir-
muntirnya. Dan semakin banyak pula, desahan
yang keluar dari mulutnya. Gerinjal tubuhnya
juga semakin menggila.
Selanjutnya, aku meneruskan membuka zipper
jaket Ling Ling sampai terbuka seluruhnya. Lalu
kutanggalkan jaket itu, hingga terpampanglah
tubuh Ling Ling telanjang bulat tanpa penutup
apapun. Memang benar taksiranku selama ini.
Buah dadanya memang berukuran kecil, hanya
berbentuk lengkungan kecil. Tetapi lengkungan
itu bentuknya membulat dan indah, serasi
dengan pinggangnya yang ramping dan
pantatnya yang tipis. Baru kusadari sekarang,
tubuh Ling Ling begitu mulus dan putih kulitnya,
hampir tanpa noda. Berbeda dengan tingkah
lakunya selama ini yang begitu kelaki-lakian,
sehingga berkesan tidak ada waktu untuk
merawat tubuhnya, tidak seperti cewek-cewek
lain lazimnya.
Ling Ling hanya memandangku dengan diam
ketika kudekatkan bibirku pada buah dada
mungilnya. Dengan nafsunya kusedot buah
dada yang rasanya kenyal itu. Mulutku berdecap-
decap seolah-olah tengah menyedot sesuatu.
Sementara itu, lidahku menjilati dan menggelitik
puting susunya yang makin mengeras.
Sebentar-sebentar, kuseruput puting susu yang
menggiurkan tersebut. Rasanya macam-macam
antara sedikit asam dan sedikit asin. Barangkali
karena habis basah karena air hujan dan
keringat. Tetapi yang penting, puting susu Ling
Ling menjadi santapan yang lezat buat mulutku.
Mulutku berpindah lebih ke bawah. Mula-mula
kujilati sekujur tubuh bugil Ling Ling, mulai dari
belahan di antara buah dadaya, kemudian turun
ke bawah sampai perutnya yang ramping. Di
sini aku berhenti sebentar. Kucucupkan lidahku
memasuki lubang pusarnya. Ling Ling
menggelinjang kegelian. Lalu kujilat-jilat lubang
pusarnya dengan gemas. Lubang pusar Ling
Ling bentuknya begitu indah, begitu bulat seperti
lingkaran.
"Ooohh.. uuhh.." Ling Ling melenguh panjang.
Mulutku tiba pada selangkangannya. Di tengah-
tengah selangkangan itu terdapat sebuah lubang
yang kecil lagi sempit dengan semacam bibir
berwarna kemerahan. Di sekitar lubang tersebut
dihiasi oleh rambut-rambut kehitaman. Masih
jarang-jarang memang, tapi cukup
membangkitkan selera siapa yang melihatnya.
Nah wilayah inilah sekarang yang menjadi
wilayah kekuasaan mulutku. Kujilati wilayah
kekuasaanku itu dengan penuh birahi tapi
lembut. Itu pun sudah membuat pemilik asli
wilayah tersebut menggelinjang tubuhnya yang
mulus. Kuusap-usap dengan lidahku lingkaran
seputar bibir kemerahan sedikit berlipat yang
berada di mulut lubang sempit di selangkangan
itu.
Ketika menemukan daging kecil yang dikenal
orang dengan nama klitoris di pangkal bibir
kemerahan itu, lidahku berhenti bergerak.
Sebagai gantinya, ia membelai-belai daging kecil
yang semakin lama semakin merah tersebut.
Ling Ling, sebagai pemilik daging kecil itu,
tubuhnya menggeliat-geliat kencang. Dari
mulutnya pun keluar desahan-desahan yang
binal.
Usai berpetualang di klitoris Ling Ling, lidahku
mulai masuk merambah lubang kecil dan sempit
yang mulai dilumasi cairan bening yang
mengalir dari dalamnya. Cairan 'pelumas' itu
membuat dinding lubang itu menjadi licin dan
basah, sehingga memudahkan lidahku
menjelajahi seluruh permukaannya dengan
bebas. Sungguh suatu sensasi yang luar biasa
bagiku dan Ling Ling. Terutama bagi Ling Ling,
apalagi setelah ditambah oleh rangsangan yang
ditimbulkan oleh salah satu jariku yang kini
menggantikan 'pekerjaan' lidahku di lubang
kewanitaan Ling Ling. Sama seperti lidahku,
semua 'tugas' jariku ini juga dipermudah berkat
lumasan cairan 'pelumas alami' yang makin lama
kian membanjir.
Perlahan tapi pasti, jariku bergerak semakin maju
di dalam lubang kenikmatan Ling Ling. Sejenak
seperti ada sesuatu yang menghalangi
perjalanan jariku sampai tujuannya. Namun
dengan sekali gerakan, halangan itu berhasil
diterobos, dengan sepertinya ada sesuatu yang
sobek.
Ketika kutarik jariku dari dalam kewanitaan Ling
Ling kulihat ada cairan merah yang membasahi
jariku itu. Aku tahu apa artinya ini, dan Ling Ling
pun juga tahu. Ini dibuktikan oleh air mata yang
membasahi pelupuk matanya saat melihat jariku
ini. Ling Ling tahu, kini pertahanannya telah
berhasil dijebol. 'Benteng' yang selama ini begitu
kukuh dipertahankannya, malam ini diruntuhkan
begitu saja oleh teman sekelasnya, yang tak lain
dan tak bukan adalah aku. Ling Ling belum
memikirkan bagaimana masa depannya nanti
sebagai seorang gadis yang telah kehilangan
miliknya yang paling berharga seperti yang baru
saja dialaminya kini.
Akan tetapi, apa boleh buat, nasi sudah menjadi
bubur. Apa yang sudah terjadi, tidak boleh
ditangisi. Iya kan, Ling. Air mata kesedihan pun
sudah berhenti mengalir, berganti dengan air
mata tanda rasa nikmat yang tiada taranya akibat
ada sebuah benda padat tapi lentur yang
bergerak maju mundur dalam liang
kewanitaannya. Rasa nikmat tersebut semakin
dirasakannya lagi saat gerakan maju mundur itu
kian tinggi akselerasinya. Apalagi ditambah
dengan rasa geli akibat gelitikan-gelitikan lidah
yang diterima oleh puting susunya.
Ya, kemaluanku semakin garang menerjang
siapa saja yang mungkin menghadang dalam
perjalanannya di dalam kewanitaan Ling Ling.
Suatu tugas yang gampang-gampang susah.
Gampang sebab 'jalur perjalanan' yang dilewati
begitu mulus dan licin akibat terlampau
banyaknya 'cairan pelumas' yang digunakan.
Susah sebab 'perjalanan' ini baru pertama kali ini
dialami oleh kedua belah pihak. Baik olehku,
maupun oleh Ling Ling. Tetapi, berkat kami
berdua yang telah menyatu padu dengan
bertumpu pada satu titik, membuat segala
halangan dan hadangan dalam 'perjalanan' itu
menjadi sirna.
Hujan di luar goa sudah mulai mereda pada saat
kami hampir tiba di akhir 'perjalanan' kami
berdua. Akhirnya kami sampai di 'tujuan' dengan
bersamaan. Dibarengi dengan lenguhan dan
jeritan panjang dari kedua insan telanjang, tahap
yang amat diharap-harapkan oleh pasangan
yang sedang bercinta pun tercapai.
Beberapa jam berselang, suasana dalam goa
pun berubah menjadi sunyi. Tidak ada suara
apapun yang terdengar, kecuali suara jangkrik
yang masih bersahutan di luar. Hujan pun telah
lama reda. Matahari sudah ingin menampakkan
sosoknya. Yang tertinggal hanyalah dua makhluk
hidup berlainan jenis kelamin yang tak
berpenutup apapun. Kedua tubuh bugil itu
sama-sama tertidur nyenyak dengan tubuh
bagian bawah mereka masih tetap menyatu,
seakan-akan tiada sesuatu pun yang dapat
memisahkan mereka.
Demikian terlelapnya kedua insan telanjang
tersebut, sehingga mereka tidak menyadari ada
suara-suara yang terdengar di mulut goa,
disusul dengan beberapa langkah kaki yang
memasuki goa itu. Dan dilanjutkan dengan
seruan-seruan tak percaya setelah melihat apa
yang mereka temukan di dalam goa.
"Waduh! Gila juga ini anak dua! Dicariin ke mana-
mana, eh tau-taunya malah main di sini!"
"Bener-bener keterlaluan mereka! Kita semua
pada capek nyariin mereka, mereka malah enak-
enakan berdua!"
"Sialan! Mendingan kita hukum apa mereka?"
"Saya punya ide. Begini saja." Terdengar
beberapa suara berbisik-bisik.
"Oke, saya setuju. Sekarang kita bangunin
mereka dulu aja ya."
"Ronny! Ling Ling! Bangun! Sudah pagi nih!
Jangan molor aja dong!"
Aku terjaga karena merasa tubuhku digoyang-
goyang seseorang. Dan langsung melompat
kaget ketika melihat siapa yang melakukannya.
Seketika itu juga kontan kemaluanku langsung
tertarik keluar dari dalam kewanitaan Ling Ling
dengan masih meneteskan cairan kenikmatan
yang masih tersisa. Segera kubangunkan pula
Ling Ling yang juga langsung melompat kaget
dan langsung meraih apa saja yang bisa diraih
untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat.
"Ayo kita seret mereka dan hukum mereka."
Kemudian aku dan Ling Ling diseret oleh mereka
yang ternyata para peserta pendakian gunung
yang sejak malam mencari kami berdua. Masih
dalam keadaan telanjang bulat tanpa penutup
sehelai benang pun dan dengan ditonton oleh
seluruh peserta, kami berdua diarak ke tempat
perkemahan di kaki gunung.
Setiba di tempat perkemahan kami, aku dan Ling
Ling disuruh berbeda di suatu areal terbuka di
tengah-tengah perkemahan yang dimaksudkan
sebagai tempat api unggun pada malam hari.
Angin pagi di pegunungan begitu dingin terasa di
kulit kami berdua yang tidak memiliki penutup
apapun.
Akhirnya dengan ditonton oleh puluhan pasang
mata aku dan Ling Ling berdiri dengan perasaan
bercampur antara malu, takut dan gelisah. Ada
beberapa di antara penonton kami yang terlihat
malu-malu, terutama cewek-cewek. Tetapi tak
sedikit pula, khususnya cowok-cowok yang
begitu antusias menyaksikan kedua tubuh kami
yang bugil, terutama tubuh ramping Ling Ling
yang putih dan mulus. Setegar-tegarnya Ling
Ling, akhirnya ia tidak dapat menahan tangisnya
juga. Dengan terisak-isak ia mencoba berlindung
di balik badanku untuk melindungi tubuhnya
yang telanjang dari tatapan mata binal para
penonton kami.
Ternyata penderitaan itu belum berakhir sampai
di sini. Sebagian besar kerumunan di sekelilingku
dan Ling Ling berteriak-teriak menyuruh kami
berdua berbuat lebih jauh di depan mereka,
walau anda pula yang melarangnya. Tetapi
akhirnya pemimpin rombongan mengambil
keputusan mengabulkan keinginan mereka untuk
menonton aku menggauli Ling Ling di hadapan
mereka.
Keputusan ini bagaikan halilintar yang
menyambar kami berdua. Tapi apa boleh buat,
kami terpaksa harus mematuhinya juga,
daripada kami akan dibiarkan telanjang bulat
seterusnya di tengah-tengah hawa pegunungan
yang dingin bila tidak mau melakukannya. Isak
tangis Ling Ling pun kian menjadi-jadi. Bahkan
aku yang mencoba membujuknya tidak berhasil
juga.
Akhirnya dengan berat hati, kutempelkan
tubuhku ke tubuh Ling Ling. Begitu tubuh kami
menyatu dan dadaku menempel dengan buah
dadanya yang hampir rata, seketika itu ada
semacam aliran aneh yang menjalari kami
berdua. Tangis Ling Ling pun berhenti. Dengan
diiringi tatapan-tatapan para penonton yang
melongo-longo keheranan, kami tampaknya
melupakan apa yang baru saja terjadi. Kami
sudah melupakan bahwa kami saat ini tengah
dihukum dan dipermalukan di depan banyak
orang. Nafsu birahi yang kembali timbul dan
intensitasnya mulai meninggi sepertinya
menghanyutkan kami hingga kami lupa akan
segala-galanya.
Dengan gairah yang tinggi kulumat bibir Ling
Ling yang mungil dan ia membalasnya dengan
gairah yang sama. Lidah kami berdua saling
mempermainkan dalam rongga mulut kami
masing-masing. Sementara kemaluanku mulai
merambah masuk ke dalam lubang kewanitaan
Ling Ling yang menganga cukup lebar di
selangkangannya. Dengan segera kugerak-
gerakan kemaluanku itu maju-mundur di dalam
liang kenikmatan tersebut, dibarengi pula dengan
gerakan-gerakan pantat Ling Ling yang ikut
maju-mundur berusaha mengimbangi
genjotanku. Para penonton pun semakin terpana
melihat permainan cinta yang baru pertama kali
disaksikan oleh sebagian besar dari mereka.
Begitu panasnya persetubuhan yang mereka
saksikan, ada beberapa orang yang kelihatan
bergetar hebat tubuhnya. Sebagian lagi yang
tidak tahan menyaksikan permainan cinta kami
langsung ambil langkah mundur dan masuk ke
tenda mereka masing-masing.
Sementara di atas mulutku masih saling
berpagutan dengan mulut Ling Ling, di bawah
permainan kemaluanku di dalam kewanitaan
Ling Ling juga masih terjadi, malah semakin
cepat. Tak ayal lagi, lenguhan-lenguhan keras
bersahutan keluar dari mulut kami berdua.
Diimbangi dengan kedua tubuh kami yang
melonjak-lonjak keras. Semakin lama semakin
bertambah panas. Tetapi nafsu birahi yang
membulak-bulak seolah-olah telah
menenggelamkan kami berdua. Tiada lagi rasa
malu, rasa takut, rasa canggung, dan
sebagainya. Yang tersisa hanya rasa nikmat
yang luar biasa dan tak terlukiskan oleh apapun.
Sampai di suatu titik puncak di mana kami
bersama-sama meregang, meluapkan segala
macam rasa yang begitu hebatnya hingga
meresap sampai ke ujung tulang kami.
Hari itu pula, Ling Ling langsung pulang ke
rumah dengan diantar salah seorang peserta
yang sejak tadi termasuk salah seorang yang
menentang hukuman yang kami terima. Dan
sejak saat itu pula, aku tidak pernah mendengar
kabarnya lagi. Baik di sekolah maupun di tempat
lain. Dari berita terakhir yang kuterima, kudengar
ia bersama keluarganya telah pindah tempat
meninggalkan kota Jakarta ini.
Dalam hatiku timbul penyesalan yang paling
dalam, mengapa aku berbuat khilaf dan tega-
teganya berbuat yang tidak-tidak pada diri Ling
Ling, sehingga dirinya menjadi korban seperti ini.
Segala macam rasa bercampur baur dalam
benakku, rasa iba, rasa menyesal, rasa ingin
melindungi, rasa kasihan dan.. rasa cinta.. Ling,
di manakah sekarang kamu berada di saat-saat
aku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu?
Ya, di saat aku mulai merasakan ada rasa cinta di
hatiku padamu!
TAMATLing Ling termasuk anak yang rajin. Setiap habis
ada pertemuan di markas kelompok pecinta
alam tersebut, ia selalu menyingsingkan lengan
bajunya untuk ikut membereskan segala
sesuatunya, bahkan termasuk mengangkat
barang-barang yang cukup berat. Itu tidak
menjadi problem yang berarti baginya. Ling Ling
memang amat kelaki-lakian. Jika dilihat sekilas,
hampir tidak ada tanda-tanda pada dirinya yang
menunjukkan bahwa dia itu sebenarnya
perempuan. Buah dadanya termasuk hampir
rata, hanya menampakkan lengkungan kecil saja
di dadanya jika ia sedang memakai kaos oblong.
Pinggang dan pantatnya pun tidak kalah ratanya
dengan buah dadanya. Pokoknya Ling Ling lebih
pantas menjadi laki-laki daripada seorang
perempuan. Bahkan pertama kali aku
mengenalnya waktu hari pertama di kelas satu,
aku heran melihatnya. Aku melihatnya anak laki-
laki aneh yang selalu menggunakan pakaian
seragam wanita, blous putih dan rok pendek
abu-abu. Cuma suaranya saja yang kecil yang
menandakan ia masih termasuk kategori cewek.
Itu pun terdengar galak dan tegas.
Suatu waktu, kelompok pecinta alam sekolahku
di mana aku dan Ling Ling bergabung di
dalamnya berencana untuk mengadakan acara
mendaki gunung di Gunung Salak, Jawa Barat.
Setiap kelas diminta untuk mengirimkan minimal
dua orang wakilnya. Aku dan Ling Ling
mengikuti acara tersebut sebagai wakil kelas II
A1-2. Pada hari yang ditentukan berangkatlah
seluruh peserta acara tersebut ke tempat tujuan.
Hari pertama di tempat tujuan, sebelum
mendaki, seluruh peserta beristirahat sejenak di
kaki gunung dengan hanya menggelar sleeping
bag atau kasur gulung saja sebagai alas. Saat itu
masih siang. Menjelang sore baru kami semua
berangkat. Pendakian hari itu memang ditujukan
untuk melatih para peserta mendaki gunung di
malam hari. Udara yang sangat dingin begitu
menusuk tulang, meski jaket yang cukup tebal
sudah melekat di badan. Tapi benar saja. Rasa
dingin itu berangsur-angsur lenyap saat kami
mulai berjalan melewati jalan setapak yang
tersedia. Malah berubah menjadi hangat sewaktu
jalan mulai menanjak cukup tinggi.
Aku, Ling Ling dan beberapa orang lagi kebetulan
berada di rombongan paling belakang. Ling Ling
berjalan paling buncit di belakangku. Walau aku
sudah berulang kali mempersilakannya untuk
berjalan di depanku, namun ia tetap berkeras
tidak mau mendahuluiku. Aku yang tidak enak
hati membiarkan cewek berjalan paling belakang
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku mengenal
sifat Ling Ling yang keras kepala. Begitu ia
memutuskan sesuatu, tak akan pernah ia
mengubahnya meski dibujuk rayu
bagaimanapun caranya.
Kami mulai terengah-engah. Nafas rasanya
hampir habis dipaksa berjalan dengan cepat.
Kami semua mendekati sebuah tanjakan cukup
terjal. Di kiri kanannya terdapat jurang. Tidak
terlalu dalam memang, tapi cukup menakutkan
dalam gelapnya malam. Aku menoleh ke
belakang. Kulihat Ling Ling tetap tegar. Tak ada
rasa ragu atau gentar sedikitpun dalam dirinya.
Aku kagum padanya. Sebenarnya, hatiku sedikit
kecut juga. Belum pernah aku mendaki gunung
di waktu malam. Seram rasanya melihat
kegelapan di mana-mana di sekelilingku. Cuma
lampu senter yang dibawa masing-masing
peserta saja yang menjadi penerang.
Akhirnya kami tiba di tanjakan terjal tersebut.
Hampir semua para peserta melongo melihat
tingginya sudut kemiringan tanjakan itu. Tetapi
bagaimanapun juga, kami tetap harus
mendakinya, meski dengan sudah payah.
"Kresek.. Gedubrak..!" Aku berhenti berjalan,
terkejut mendengar suara itu dan menoleh ke
belakang. Ternyata di belakangku sudah tidak
ada siapa-siapa lagi. Ke mana si Ling Ling?
Kucoba melihat dalam gelap ke awal tanjakan.
Samar-samar kulihat ada yang bergerak-gerak di
bawah sana. Kusorotkan lampu senterku ke arah
itu. Ternyata kulihat Ling Ling yang sedang
terduduk dengan mengurut-urut pahanya
sambil meringis-ringis kesakitan. Tanpa
mempedulikan para peserta lainnya di depanku
yang sudah cukup jauh di depan, aku berbalik
arah dan memburu turun tanjakan kembali ke
tempat Ling Ling berada.
"Ling Ling! Kamu kenapa, Ling?" Aku bertanya
kepada Ling Ling ketika sudah sampai di bawah.
"Kaki saya nih, Ron. Agak keseleo", jawabnya.
"Aduh. Celaka juga. Bagaimana ya?"
"Aduh!" Ling Ling mengaduh kesakitan.
"Kamu bisa jalan nggak, Ling."
"Kita coba deh. Kamu bantuin saya ya, Ron."
Akhirnya aku membantu Ling Ling bangkit
berdiri. Setelah susah payah akhirnya berhasil.
Aku memapahnya, mencoba berjalan. Tetapi
Ling Ling tambah meringis-ringis. Sialnya lagi,
hujan gerimis mulai turun. Aku jadi bingung
mau berbuat apa, tapi Ling Ling tetap kelihatan
tenang. Sialan! Gara-gara dia, aku jadi bingung
seratus keliling, tapi dia malah tenang saja,
gerutuku dalam hati.
"Ling, kayaknya hujannya tambah deras aja.
Mendingan kita cari tempat untuk berteduh dulu
ya."
"Terserah kamu deh, Ron."
Di tengah hujan yang semakin deras, aku dan
Ling Ling mencari-cari tempat yang cocok untuk
berteduh sambil menunggu hujan reda. Setelah
mencari cukup lama di bawah derasnya air
hujan, akhirnya aku menemukan sebuah goa
yang cukup lapang yang kira-kira luasnya cukup
untuk menampung sepuluh orang tetapi pintu
masuknya agak tersembunyi dan sulit
ditemukan dalam gelap. Kami berdua masuk ke
dalam goa tersebut.
Aku mencari-cari dalam ransel anti air yang
kubawa barang-barang yang kira-kira bisa
kupakai di situ. Aha! Kutemukan geretan gas dan
sebatang lilin. Kunyalakan lilin itu dan kuletakkan
di suatu tonjolan di dinding goa. Lumayan,
cukup terang untuk menerangi dalam goa
tersebut. Aku melihat ke arah Ling Ling. Kasihan
sekali dia. Ling Ling tampak menggigil
kedinginan. Aku dan dia sama-sama memakai
jaket anti air. Tetapi jaket Ling Ling terkoyak
cukup lebar sewaktu jatuh tadi. Dan akibatnya
pakaiannya jadi basah kuyup, sedangkan
pakaianku sendiri aman-aman saja, hanya basah
sedikit.
Aku tak tega menyaksikan Ling Ling kedinginan
seperti itu karena mengenakan pakaian yang
basah kuyup. Akhirnya aku mengusulkan agar ia
membuka semua pakaiannya yang basah dan
sebagai penggantinya, ia kupinjami jaket tebal
yang kupakai. Mula-mula Ling Ling kelihatannya
ragu-ragu harus membuka pakaian di depanku.
Tetapi setelah aku membujuknya dan
berulangkali kujelaskan bahwa aku tak
bermaksud buruk padanya, ia mau. Akhirnya
dengan berdiri membelakangiku, Ling Ling mulai
menanggalkan satu persatu pakaian yang
dikenakannya di bawah temaramnya cahaya lilin
sebatang, setelah melepas sepatu ketsnya. Aku
sebenarnya tidak bermaksud menontonnya,
tetapi karena hanya di tempat itu yang terang,
mau tak mau aku memandang ke arahnya juga.
Pertama-tama, Ling Ling memberikan jaketnya
yang sobek kepadaku. Kemudian ia melepaskan
sweater dan kaos oblong yang dipakainya. Aku
terpukau sejenak melihat tubuh bagian atasnya
yang putih dan kulitnya yang mulut dengan
hanya mengenakan BH berukuran kecil. Dengan
menutupi dadanya yang hampir terbuka dengan
tangan, Ling Ling membalikkan badannya dan
melemparkan pakaiannya itu padaku. Aku
membalasnya dengan memberinya jaketku
yang cukup tebal dan bagian dalamnya masih
kering. Setelah menerima pemberianku, Ling
Ling berbalik badan lagi, kembali
membelakangiku. Lalu ia membuka tali BH-nya
dan menanggalkan penutup buah dadanya itu.
Sewaktu ia hendak memakai jaket pemberianku,
tiba-tiba jaket itu terlepas dari tangannya dan
jatuh ke tanah. Ling Ling membungkuk ke
samping. Dari terangnya cahaya lilin, aku melihat
buah dadanya. Ukurannya memang kecil, cuma
sebesar buah dada anak SD. Tetapi kulihat
ujungnya runcing dan puting susunya
berukuran lebih kecil sedikit daripada ukuran
penghapus di ujung pensil. Ling Ling tidak
menyadari bahwa aku sedang memperhatikan
tubuhnya yang setengah telanjang.
Sesudah memakai jaketku, lalu Ling Ling
berjongkok sedikit untuk membuka celana
panjang dan celana dalamnya. Kusaksikan di
depan mata kepalaku sendiri pantatnya yang
tidak montok tapi mulus dan putih. Barangkali
akibat cahaya lilin yang remang-remang, tubuh
Ling Ling yang sebenarnya bukan tipe bentuk
tubuh idamanku, kurasakan tampak sensual
sekali. Dan itu sudah cukup untuk membuat
kemaluanku berdiri. Sementara sekilas lewat
sebuah pikiran jahat di otakku, yaitu untuk
memperkosa Ling Ling. Untunglah, akal sehatku
masih jauh lebih kuat.
"Kamu udah selesai, Ling."
"Udah, Ron. Terima kasih ya atas bantuan
kamu."
"Don't mention it", jawabku.
"Tapi.. aduh.. duh.." Tiba-tiba Ling Ling
mengaduh-aduh lagi ketika ia mencoba berjalan
menghampiri tempat dudukku. Aku berdiri dan
membantunya berjalan ke tempat dudukku itu
yang kebetulan berada di tanah yang datar.
Kubantu lagi Ling Ling untuk duduk di atas
ranselku.
"Di mana yang sakit, Ling?" tanyaku.
"Di sini, Ron. Paha saya sakit banget nih. Keseleo
kali ya?" sahut Ling Ling sembari mengurut-urut
pahanya yang tampak mulai membiru. Aku
menyentuh paha Ling Ling yang putih, namun
aku langsung sadar dan menarik tanganku.
"Nggak pa-pa kok, Ron, kamu mengurut
pahaku. Asal saja kamu nggak berpikiran yang
macam-macam."
Akhirnya aku menuruti perkataan Ling Ling. Aku
mulai mengurut pahanya dengan perlahan-
lahan. Tiba-tiba ia berteriak kesakitan sewaktu
aku mengurutnya terlalu keras. Karena rasa sakit
itu, tanpa sengaja ia merenggangkan kedua
kakinya. Dari cahaya lilin yang masuk ke dalam
celah-celah di antara kedua pahanya yang
merenggang itu, aku dapat melihat dengan
samar-samar selangkangannya dengan
seonggok warna kehitaman yang terletak di
tengah-tengah selangkangan itu. Kemaluanku
menjadi semakin berdiri. Untungnya, Ling Ling
tidak mengetahuinya.
Karena aku takut kalau Ling Ling kesakitan lagi,
aku mengurut pahanya dengan hati-hati. Bahkan
saking pelannya, Ling Ling merasa itu bukan
sebuah urutan lagi, melainkan sebuah elusan.
Dan ini dirasakannya sungguh nikmat. Belum
pernah dalam hidupnya, pahanya disentuh oleh
laki-laki. Ini dibuktikan oleh desahan-desahan
kecil yang keluar dari mulutnya waktu aku
sedang mengurutnya. Bodohnya, aku tidak
menyadarinya. Aku menganggap desahan-
desahan ini hanya sebagai reaksi akibat rasa sakit
pada pahanya saat kuurut. Tidak lebih dari itu.
"Gimana, Ling? Udah mendingan kan sekarang?"
tanyaku setelah selesai mengurutnya.
"Iya, bener, Ron. Paha saya udah nggak begitu
sakit lagi. Saya coba pake buat jalan ya."
Kubantu Ling Ling berdiri dengan hati-hati.
Setelah ia berdiri, perlahan-lahan ia kulepas. Aku
berdiri agak menjauh dari tempatnya. Kemudian
aku memintanya mencoba berjalan ke arahku.
Ling Ling dengan susah payah mencoba
menggerakkan kakinya. Dengan tetap meringis-
ringis, ia tertatih-tatih berjalan ke arahku. Kira-kira
mencapai jarak tinggal setengah meter dari
tempatku berdiri, tiba-tiba Ling Ling terhuyung-
huyung dan langsung ambruk. Untung saja aku
lebih cepat dan sempat menyambarnya sebelum
ia jatuh mencium lantai goa.
"Aaiih.." Ling Ling mendesah ketika aku
menangkap tubuhnya. Aku menjadi kaget.
Astaga..! Ternyata aku tak sengaja
mencengkeram buah dadanya. Memang terasa
ada sesuatu yang kenyal di telapak tanganku, tapi
aku tidak menyadarinya, sebab waktu aku
menangkap tubuh Ling Ling itu adalah karena
gerak refleksku.
"Ron, Ronny.. Lepasin dong.." Teriakan Ling Ling
membuatku sadar. Ternyata karena aku kaget
tadi, aku bukannya melepaskannya tapi malah
mencengkeram buah dadanya semakin
kencang. Kulihat wajahnya memerah. Aku
melepaskan tanganku dari tubuh Ling Ling dan
mencoba mengajaknya mencoba berjalan lagi.
Aku mundur sedikit kira-kira satu meter. Ling
Ling pun kembali tertatih-tatih berusaha berjalan
menghampiriku. Lagi-lagi setelah ia sudah cukup
dekat, tubuhnya sempoyongan, dan lagi-lagi aku
berhasil menangkapnya. Tubuhnya langsung
ambruk ke pelukanku. Dan wajahnya tepat
berada di depan wajahku, cuma berjarak lebih
kurang satu senti saja.
Sejenak aku dan Ling Ling saling memandang
lama satu sama lain. Seperti ada yang
menggerakkanku, terjadi suatu aliran yang aneh
di dadaku. Tanpa sempat kucegah sendiri,
bibirku sekonyong-konyong sudah menempel
pada bibir Ling Ling yang masih pucat. Ling Ling
mencoba melepaskan diri. Namun mengapa,
semakin ia mencoba menghindar, semakin erat
saja bibir kami menyatu. Akhirnya, ia tidak
menghindar lagi, malah kelihatannya ia kini
menerima bibirku dengan ikhlas.
Mengetahui penerimaan Ling Ling ini, gairahku
pun timbul. Dengan berani aku mulai mengulum
bibirnya yang setengah membuka. Sensual
sekali disinari cahaya lilin yang remang-remang.
Kulihat, Ling Ling pun tampaknya membalas
kulumanku. Bahkan ia mengeluarkan lidahnya
dan menjilati lidahku. Akhirnya bibir kami berdua
saling memagut dan lidah kami saling menjilat.
Kami melakukan 'french kissing' ini hampir
selama 5 menit. Kami sudah tidak
mempedulikan lagi temaramnya cahaya lilin,
gelapnya malam, dinginnya udara, dan turunnya
air hujan di luar goa yang semakin bertambah
deras. Kami sedang terhanyut dalam nafsu birahi
yang muncul secara mendadak. Terutama
setelah pakaianku juga terlucuti semua.
Tanganku turun ke arah dada Ling Ling.
Kutelusuri lengkungan kecil di dadanya melalui
balik jaket. Ling Ling tampak menggelinjang kecil
ketika jamahan tanganku mengenai suatu titik
kecil di tengah-tengah lengkungan itu yang
menonjol seukuran penghapus di ujung pensil.
Kujilat benda mungil yang berbentuk pentil itu
melalui kain jaket yang menutupinya.
Tidak sabaran, aku membuka zipper jaket yang
dipakai Ling Ling. Setelah zipper itu terbuka
setengahnya, aku merogohkan tangan ke dalam
zipper itu, ke balik jaket. Ling Ling menggeliat
dan mendesis sewaktu tanganku mendarat di
dadanya. Dan ia mengulanginya lagi ketika buah
dadanya kuremas. Buah dada yang kecil
ukurannya tapi kenyal amat mengasyikkan bagi
tanganku. Baru kali ini aku mendapat
kesempatan memegang buah dada seorang
wanita. Dan kebetulan wanita itu adalah Ling
Ling, teman sekelasku.


Adult | GO HOME | Exit
1/729
U-ON

inc Powered by Xtgem.com